Rabu, 01 Juni 2016

Leon Trotsky: ABC Dialektika Materialis

Leon Trotsky
ABC Dialektika Materialis
Sumber: Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics, 1939.

(Leon Trotsky)
 


Bila masalah-masalahnya tidak dibatasi sekadar tentang kehidupan sehari-hari, maka dialektika dapat memahami masalah-masalah yang lebih rumit dan bisa mengerti proses-proses mendesak yang harus diperbincangkan. Jadi, dialektika merupakan suatu pengetahuan mengenai bentuk pemikiran, yang bukan fiksi atau mistik. Perbandingan antara logika dialektik dan logika formal, dilihat dari bobotnya, menyerupai suatu hubungan antara matematika tingkat tinggi dengan matematika tingkat rendah.
Di sini aku akan mencoba untuk membuat sketsa substansi masalah dalam sebuah format yang sangat ringkas. Silogisme sederhana logika Aristotelian bermula dari preposisi bahwa “A” sama dengan “A”. Postulat tersebut diterima sebagai sebuah aksioma bagi banyak sekali tindakan praktis manusia dan jeneralisasi-jeneralisasi elementer. Tapi, pada kenyataannya, “A” bisa tidak sama dengan “A”. Hal tersebut mudah untuk dibuktikan jika kita meneliti dua huruf tersebut di bawah sebuah lensa pembesar—satu dengan yang lainnya sama sekali berbeda. Namun, orang bisa saja berkeberatan, karena hal-hal lain (misalnya) semata-mata merupakan simbol bagi kwantitas-kwantitas yang sederajat, contohnya, satu pon gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf tersebut. Keberatan tersebut tidak lah penting; pada kenyataannya satu pon gula tidak pernah sama persis dengan satu pon gula lainnya—sebuah pengukuran yang lebih teliti selalu menyingkapkan adanya penyimpangan. Lagi-lagi orang dapat berkeberatatan: tapi satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri. Ini juga tidak benar—semua bentukan tanpa bisa dicegah berubah dalam ukuran, berat, warna, dan lain sebagainya. Semuanya tak pernah sama dengan dirinya sendiri. Seorang sophis akan menganggap bahwa satu pon gula adalah sama dengan dirinya sendiri “pada saat tertentu”.
Terlepas dari nilai praktis yang sangat ekstrim, yang meragukan “aksioma” tersebut, ia tak akan  bertahan juga terhadap kritisisme teoritis. Bagaimana kita seharusnya benar-benar memahami kata “saat”? Jika ia adalah sebuah interval waktu yang sangat kecil, maka satu pon gula didudukkan sebagai sasaran selama berlangsungnya “saat” tersebut, dan ia tunduk pada perubahan-perubahan yang tak dapat dielakkan. Atau apakah “saat” adalah sebuah abstraksi yang murni matematis, yaitu, sebuah kehampaan yang terlepas dari waktu? Tapi, semua hal eksis dalam waktu; dan eksistensi sendiri adalah sebuah proses yang tak berhenti dari transformasi; waktu secara konsekwen adalah sebuah elemen fundamental bagi eksistensi. Jadi aksioma “A” adalah sama dengan “A”—yang menandai bahwa suatu hal adalah sama dengan dirinya sendiri—berlaku jika ia tidak berubah, itu artinya jika ia tidak eksis.
Secara sepintas kelihatannya “kepelikan-kepelikan” tersebut tak ada gunannya. Dalam realita, hal-hal tersebut amat menentukan arti. Di satu sisi, aksioma “A” adalah sama dengan “A” muncul sebagai titik keberangkatan bagi semua pengetahuan kita tapi, di sisi lain, ia juga merupakan titik keberangkatan segala kekeliruan dan kesalahan dalam pengetahuan kita. Penggunaan aksioma “A” adalah sama dengan “A” yang bebas resiko hanya lah mungkin jika ada batasan-batasan pasti. Ketika tugas-tugas interupsi, intervensi atau ganguan yang ada tidak berarti bagi perubahan-perubahan kuantitatif “A”, maka kemudian kita bisa memperkirakan bahwa “A” adalah sama dengan “A”. Contohnya adalah cara ketika seorang pembeli dan seorang penjual memperhitungan kepastian, kepastian satu pon gula: apakah kita tidak harus mempertimbangkan suhu matahari? Sampai saat ini, kita mempertimbangkan kekuatan mata uang dolar dengan cara yang sama. Tetapi perubahan-perubahan kwantitatif, yang mendobrak batasan-batasan pasti, terkonversi menjadi kualitatif. Ketika satu pon gula tunduk kepada tindakan suhu (matahari), air atau bensin, berhenti lah ia menjadi satu pon gula. Satu dolar dalam tangan seorang presiden berhenti sebagai satu dolar. Menentukan titik kritis pada saat yang tepat, saat kwantitas berubah menjadi kwalitas, adalah merupakan suatu tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang pengetahuan, termasuk sosiologi.
Setiap pekerja mengetahui bahwa mustahil membuat dua benda yang sepenuhnya sama, karenanya diperkenankan adanya sebuah deviasi atas kedua benda tersebut yang, bagaimanapun, tidak boleh melampaui batasan-batasan tertentu (itu yang disebut toleransi). Mengamati norma-norma toleransi, intinya adalah mempertimbangkan kesetaraan (“A” adalah sama dengan “A”). Saat toleransi menjadi berlebihan, maka kwantitas berlanjut menjadi kwalitas; dengan kata lain, benda tersebut menjadi inferior atau sepenuhnya tak berharga, rusak.
Pemikiran ilmiah kita hanya lah salah satu bagian dari keseluruhan tindakan praktek kita, termasuk teknik-teknik. Dalam konsep-kopsep, eksistensi “toleransi” juga diperkenankan. Toleransi tersebut ditegakkan bukan dengan logika formal yang berasal dari aksioma “A” adalah sama dengan “A”, tapi dengan logika dialektik yang berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu berubah. “Akal sehat” dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis melampaui “toleransi” dialektik.
Pemikiran vulgar juga beroperasi dalam konsep-konsep seperti kapitalisme, moral, kebebasan, negara pekerja, dan lain sebagainya. Sebagai abstraksi-abstraksi pasti, diperkirakan bahwa kapitalisme adalah sama dengan kapitalisme, moral adalah sama dengan moral, dan seterusnya. Pikiran dialektik menganalisa semua hal dan fenomena dalam perubahannya yang terus menerus berlangsung, sambil menetapkan kondisi-kondisi material bagi perubahan-perubahannya, yang batas-batas kritisnya di luar atau tidak dalam pengertian “A” berhenti menjadi “A”, negara pekerja berhenti menjadi negara pekerja.
Kekurangan fundamental pemikiran vulgar terletak dalam kenyataan bahwa ia berharap dapat mengisi dirinya sendiri dengan cetakan tetap (tak berubah) suatu realitas—yang, sebenarnya, mengandung gerak abadi. Dengan cara memperketat perkiraan-perkiraan, koreksi-koreksi, kongkritisasi; pemikiran dialektik memberikan sebuah kekayaan mengenai isi dan fleksibitas konsep-konsep; bahkan bisa aku katakan bahwa suatu kelambanan dalam bidang tertentu membawanya lebih dekat pada fenomena yang nyata hidup. Bukan kapitalisme secara keseluruhan, melainkan suatu kapitalisme tertentu pada suatu tahap perkembangan tertentu. Bukan suatu negara pekerja secara keseluruhan, tetapi suatu negara pekerja tertentu dalam sebuah negara terbelakang, dalam sebuah pengepungan kaum imperialis, dan lain sebagainya.
Hubungan antara pemikiran dialektik dengan pemikiran vulgar, dengan cara yang sama, seperti analogi hubungan antara film yang bergerak (motion picture) dengan foto yang ajeg. Film yang bergerak tidak berada di luar hukum foto yang ajeg tapi mengkombinasikan suatu urutan foto-foto tersebut yang sesuai dengan hukum-hukum gerak. Dialektika tidak mengingkari silogisme, tapi mengajari kita untuk menggabungkan silogisme dalam cara yang sedemikian rupa agar pengertian kita bisa menjadi lebih dekat pada realitas yang berubah secara abadi. Dalam bukunya, Logic, Hegel menetapkan satu rangkaian ketentuan-ketentuan: perubahan kwantitas menjadi kwalitas, perkembangan melalui kontradiksi, konflik mengenai isi dan bentuk, interupsi terhadap kontinuitas, perubahan kemungkinan menjadi hal yang tak dapat dihindarkan (niscaya), dan lain sebagainya., yang sama pentingnya bagi pemikiran teoritis, sepenting silogisme sederhana dalam tugas-tugas yang lebih elementer.
Hegel menulis sebelum Darwin dan sebelum Marx. Terima kasih Hegel pada dorongan kuat yang diberikan Revolusi Perancis (pada perkembangan pemikiran) tercermin saat ia mengantisipasi gerakan ilmu-pengetahuan secara menyeluruh. Tapi, karena semata-mata hanyalah suatu antisipasi, meskipun dilakukan oleh seorang jennius, maka Hegel tak dapat terlepas dari ciri idealismenya. Hegel mengoperasikan bayang-bayang ideologis sebagai realitas terakhir. Marx menunjukkan bahwa gerak bayang-bayang ideologis tersebut tidak merefleksikan apa-apa kecuali merupakan gerak dari tubuh-tubuh materi.
Kita menamakan dialektika kita, materialis, sebab ia tak berakar baik di surga maupun di kedalaman “kehendak bebas” kita, melainkan dalam realitas objektif, dalam alam. Kesadaran timbul dari bawah sadar, psikologi dari fisiologi, dunia organik dari dunia inorganik, galaksi dari nebula. Di tiap undakan tangga perkembangan tersebut, perubahan-perubahan kwantitatif ditransformasikan menjadi kwalitatif. Pikiran kita, terrmasuk pikiran dialektik, hanyalah suatu bentuk ekspresi zat yang berubah. Dalam sistem ini, tak tersedia tempat bagi metafisika, setan, jiwa kekal, tidak juga norma-norma abadi hukum dan moral. Dialektika pemikiran, yang timbul dari dialektika alam, secara konsekuen memiliki suatu karakter yang seluruhnya materialis. Darwinisme, yang menjelaskan evolusi spesies melalui transformasi kwantitatif berlanjut menjadi kwalitatif, merupakan suatu kemenangan tertinggi dialektika dalam seluruh lapangan yang mengurusi perkara organik. Kemenangan besar besar lainnya adalah penemuan tabel berat atom unsur kimia dan transformasi lebih lanjut dari suatu elemen menjadi elemen lainnya.
Secara erat transformasi-transformasi tersebut (spesies, elemen, dan lain sebagainya.) berkaitan dengan masalah klasifikasi, sama pentingnya bagi ilmu alam juga bagi ilmu sosial. Sistem Linneaus (abad ke-18) mempergunakan imutabilitas spesies sebagai titik awalnya, terbatas pada deskripsi dan klasifikasi pertanian yang sesuai dengan karakteristik-karakteristik abadinya. Periode awal (kanak-kanak/infantil) botani adalah analogis dengan periode awal logika, karena bentuk-bentuk pemikiran kita berkembang seperti semua hal yang hidup. Hanya penyangkalan yang tak dapat disanggah—dengan ditemukannya perkembangan/ perubahan spesies yang ada sekarang, dengan adanya studi mengenai sejarah evolusi pertanian dan anatominya—bisa menyiapkan basis bagi suatu klasifikasi yang benar-benar ilmiah.
Marx, yang berbeda dengan Darwin, adalah seorang dialektikus yang sadar, berhasil menemukan basis bagi suatu klasifikasi ilmiah mengenai masyarakat-masyarakat manusia dalam perkembangan tenaga-tenaga produktif dan struktur kepemilikannya, yang membentuk anatomi masyarakat. Marxisme memberikan substitusi—berupa sebuah klasifikasi dialektika materialis—bagi klasifikasi vulgar dalam menganalisa masyarakat dan negara yang, bahkan hingga sekarang, masih tumbuh subur dalam berbagai universitas. Hanya dengan menggunakan metode Marx lah dimungkinkan bisa ditentukan secara benar apakah itu konsep mengenai sebuah negara pekerja maupun juga momen keruntuhannya.
Kita lihat sendiri, semua itu sama sekali tak mengandung hal-hal yang “metafisik” atau “skolastik”—ungkapan ketidaktahuan yang congkak. Logika dialektik mengungkapkan hukum gerak dalam pemikiran ilmiah kontemporer, dan perjuangan menentang dialektika materialis, sebaliknya, mencerminkan masa lalu yang berjarak, konservatisme borjuis kecil, keangkuhan diri para pengusung rutinitas universitas, dan ... sekilat harapan bagi kehidupan yang berubah.

15 Desember 1939.

***


0 komentar:

Posting Komentar