Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme; Konstitusionalitas Penguasaan
Negara Atas Sumberdaya Alam
Dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi1
Yance
Arizona2
“Apabila menurut Pasal 33 UUD 1945 kooperasi
mulai membangun dari bawah, melaksanakan dahulu yang kecil, yang rapat
pertaliannya dengan keperluan rakyat sehari-hari dan kemudian berangsur-angsur
meningkat ke atas. Pemerintah membangun dari atas, melaksanakan yang
besar-besar, seperti membangun tenaga listrik, persediaan air minum, menggali
saluran pengairan, membuat jalan-jalan perhubungan guna lancarnya kegiatan
ekonomi, menyelenggarakan berbagai macam produksi yang menguasai hajat hidup
orang banyak. ”
Mohammad Hatta
Cita-cita Koperasi Dalam Pasal 33 UUD 1945
Pidato Hari Koperasi, 12 Juli 1977
Cita-cita Koperasi Dalam Pasal 33 UUD 1945
Pidato Hari Koperasi, 12 Juli 1977
I. PENGANTAR
Jimly Asshiddiqie (2005)
menyatakan bahwa, sepanjang corak muatan yang diaturnya, UUD 1945 mendekati
tradisi penulisan konstitusi pada negara-negara sosialis seperti USSR,
Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia dan Hongaria yang menempatkan
konstitusi disamping berfungsi sebagai hukum dasar bidang politik, juga
merupakan hukum dasar bidang ekonomi (economic constitutional) bahkan
sosial (social constitution).3 Sebagai
hukum dasar bidang ekonomi, hubungan negara dan masyarakat terhadap sumberdaya
alam4 sebagai komponen ekonomi terlihat dalam
Pasal 33 UUD 1945.
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan, dimana cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, yang diatur
lebih lanjut dalam undang-undang.
Landasan konstitusional itu
menjadi titik anjak penjabaran usaha perekonomian nasional yang terlihat dalam
sejumlah UU di bidang sumberdaya alam. Permasalahan yang acap mengemuka dalam
perundang-undangan di bidang perekonomian sumberdaya alam, sepanjang berkaitan
dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) adalah: (a) bagaimana penguasaan negara
atas sumberdaya alam (b) menjamin dan ditujukan bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat serta (c) bagaimana peranan swasta/modal/investor dalam perekonomian
berkaitan dengan sumberdaya alam. Pasal 33 UUD 1945 menjadi tempat dimana tiga
persoalan itu ditujukan dan dievaluasikan. Persoalan tersebut, pada level
suprastruktur politik akan mengarahkan perdebatan antara konsep penguasaan
publik berhadap-hadapan dengan konsep kepemilikan perdata dari Negara terhadap
sumberdaya alam beserta konsekuensi hubungan hukumnya.
Persoalan itu semakin menarik
dikaji pada masa transisi karena pada masa transisi di negara-negara
berkembang, seperti Indonesia, dan negara bekas komunis terdapat gelombang
penetrasi modal yang berupaya membuat negara berkembang untuk melakukan adaptasi
dengan sistem perekonomian global yang berpaham neoliberal. Ada dua periode
transisi yang penting dan mendasar sejak Republik Indonesia terbentuk, yaitu
menjelang pemerintahan Orde Baru dan setelah keruntuhan Orde Baru (reformasi).
Pada masa transisi terjadi serangkaian perundang-undangan di bidang sumberdaya
alam yang nilai-nilai dasar pengaturannya tidak dapat dilepaskan dari konteks
paradigma perekonomian global. Tulisan ini mencoba merekam infiltrasi
nilai-nilai tersebut kemudian melihat bagaimana peranan Mahkamah Konstitusi
yang juga merupakan bagian dari transisi reformasi, serta sebagai penyangga
negara demokratis konstitusional yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap
UUD 1945 memberikan respons lewat putusannya. Tulisan ini ingin menjawab
bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan konstitusionalitas
penguasaan negara atas sumberdaya alam di tengah kecenderungan politik
legislasi di bidang sumberdaya alam yang neoliberal.
II. EPISODE POLITIK HUKUM UU DI BIDANG SUMBERDAYA ALAM
a. Menjelang Orde Baru
Dalam masa pemerintahan Presiden
Soekarno (Orde Lama) penjabaran Pasal 33 UUD 1945 sepanjang soal penguasaan
negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya ditafsirkan dengan
melahirkan UU tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria atau UUPA (UU No. 5/1960).
Tujuan utama dari UUPA adalah untuk melakukan redistribusi tanah dan melakukan
pemerataan penguasaan tanah bagi rakyat. Menurut Mahfud MD, UUPA merupakan
produk hukum yang sangat responsif, berwawasan kebangsaan, mendobrak watak
kolonialis yang masih mencengkeram bangsa Indonesia sampai selama 15 tahun
menjadi bangsa dan negara merdeka (tahun 1945 sampai tahun 1960).5 Pada masa
itu, UUPA adalah aturan utama sebagai landasan pengaturan pertanahan, air,
hutan dan perkebunan.
Orde Baru yang berkuasa selama 32
tahun adalah rezim yang menghamba kepada kepentingan modal. Bahkan
Undang-undang pertama kali dibuat oleh rezim itu adalah UU Penanaman Modal
Asing (UU No. 1/1976). Selang empat bulan kemudian, diundangkanlah UU tentang
Ketentuan Pokok Kehutanan (UU No. 5/1967), lalu UU tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan (No. 11/1967). Tiga undang-undang tersebut menunjukkan arah
politik hukum pemerintah bahwa perekonomian Indonesia di bawah Orde Baru akan
ditopang dengan modal asing sebesar-besarnya pada sektor Kehutanan dan
Pertambangan.
Kelahiran UU Kehutanan dan UU
Pertambangan merupakan satu bentuk fragmentasi6
pengaturan sumberdaya alam yang sebelumnya sudah diatur dalam UUPA. Kelahiran
dua UU tersebut bahkan dalam hal tertentu medistorsi semangat UUPA yang
berorientasi pada pemerataan dan redistribusi tanah. Pola fragmentasi
perundang-undangan ini bila dirunut memiliki kesamaan dengan spesialisasi kerja
dalam sistem produksi. Pembagian kerja ditujukan agar spesialisasi dilakukan
dan produksi dapat ditingkatkan setinggi-tingginya untuk mencapai nilai lebih
dari produksi yang berlebih. Setiap unit kerja memiliki mekanisme dan
nilai-nilai tersendiri yang membedakannya dengan unit kerja lain. Dalam
perundang-undangan sumberdaya alam, spesialisasi itu diwujudkan menjadi
sektoralisasi sumberdaya alam yang secara objektif (alam dan lingkungan yang
dieksploitasi), dinilai secara kuantitatif dan spesifik (minum diversity)
yang diurus oleh intansi pemerintah secara khusus. Hal ini kemudian
menghadirkan konflik antar departemen yang mengurusi sumberdaya alam
(egosektoral) karena adanya ruang sumberdaya alam yang tumpang tindih.7
Sekumpulan UU yang lahir pada masa
itu bukan hanya teks hukum yang berada dalam ruang hampa, tetapi memiliki jiwa dan
konteks sosialnya, yaitu pembangunanisme (developmentalism).8 Semangat Pembangunanisme sebagai jalan
merekonstruksi negara-negara yang mengalami penjajahan dan peperangan pada
perang dunia kedua sudah mulai diwacanakan oleh Presiden Amerika Serikat Harry
S. Truman dekade 1950-an. Pembangunanisme itu kemudian disebarkan ke beberapa
negara non-blok untuk mengatisipasi gelombang komunisasi negara dunia ketiga.
Indonesia pacsa Soekarno masuk sebagai bagian negara yang berkiblat pada
pembangunanisme tersebut.
b. Reformasi9 atau Adaptasi?
Pembangunan ekonomi Orde Baru
sudah mengarah kepada kemajuan ekonomi pada dekade 80 sampai 90-an. Tetapi,
pada tahun 1997 perekonomian dunia mengalami gelombang krisis moneter yang
bermula di Thailand, Korea Selatan dan sampai menggulung Indonesia dan beberapa
negara Asia Tenggara lainnya. Hal ini berimbas kepada runtuhnya bangunan
ekonomi a la Orde Baru. Krisis tersebut berujung pada “berhentinya”
Soeharto sebagai punggawa republik setelah 32 tahun berkuasa dan memantik perubahan
pada banyak sektor. Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa krisis yang
melumpuhkan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 disebabkan oleh 6 (enam)
faktor, yaitu:10
1.
Secara regional dan aspek geo-ekonomi, Indonesia
mendapat efek berantai dari krisis ekonomi yang terjadi di Thailand dan Korea
Selatan (the contagion effect).
2.
Sebagai rangkaian dari efek berantai tersebut,
di dalam negeri terjadi spekulasi dan perilaku panik yang luar biasa, diikuti
dengan pemindahan modal ke luar negeri (capital flight) yang bergerak sangat
cepat.
3.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk merespons
krisis moneter tersebut, meskipun
resepnya kemudian disusun bersama-sama dengan IMF, dinilai tidak tepat.
Kesalahan kebijakan ini termasuk penyebab terjadinya krisis perbankan yang
sebenarnya strukturnya sudah lemah, sekaligus sebagai pemicu meledaknya hutang
luar negeri.
4.
Secara struktural, cukup banyak yang menilai
bahwa krisis ekonomi disebabkan oleh hubungan politik dengan bisnis (crony
capitalism), terutama hubungan antara pemerintah dengan pengusaha yang tidak
sehat yang pada gilirannya menyebabkan kesalahan yang bersifat sistemik serta
menimbulkan inefisiensi dan disfungsi struktural.
5.
Bentuk lain dari hubungan tidak sehat antar
penguasa dan pengusaha seperti disinggung di atas adalah kroniisme, yang
memangsa sumberdaya dan output ekonomi kita dalam skala besar.
6.
Absennya good governance pada pemerintahan yang
lalu, yang sesungguhnya merupakan turunan dari kegagalan institusi negara dalam
membangun dan menegakkan aturan hukum, juga menyebabkan kehancuran yang
bersifat struktural.
Pasca Orde Baru, pergantian
kepemimpinan dan perubahan di berbagai sektor dengan semangat reformasi
berlangsung. Pada level hukum berpuncak pada paket amandemen UUD 1945 empat
kali (1999-2002). Perubahan yang menambah sampai 300% ketentuan UUD itu seiring
dan diikuti dengan perubahan pada level undang-undang dan kebijakan lainnya. Di
bidang perundang-undangan sumberdaya alam, pola fragmentasi peraturan gaya Orde
Baru dilanjutkan dan bertambah masif. Ada 12 (dua belas) UU yang dibuat, yaitu:
(a) UU Kehutanan; (b) UU Perlindungan Varietas Tanaman; (c) UU Minyak dan Gas
Bumi; (d) UU Ketenagalistrikan; (e) UU Panas Bumi; (f) UU Sumberdaya Air; (g)
UU Perkebunan; (h) UU Penetapan Perpu No. 1/2004 tentang Perubahan UU
Kehutanan; (i) UU Perikanan; (j) UU Penanaman Modal; (k) UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; (l) UU Energi.11
Watak dari UU yang lahir pasca
Orde Baru, terutama yang berkaitan dengan sumberdaya alam, disamping memasifkan
sektoralisasi sumberdaya alam juga diikuti dengan gelombang komersialisasi dan
privatisasi12 atau swastanisasi sektor publik
yang semestinya merupakan tanggungjawab langsung dari negara. Semangat ini
berakar dari apa yang dikenal dengan Washington Consensus yang
menyatakan bahwa kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas,
stabilitas makro serta penerapan kebijakan harga yang tepat. Tak dapat
dipungkiri, kesepakatan inilah yang kemudian menjadi pencetus bagi kelangsungan
mekanisme pasar.13
Washington Consensus
dikenal juga sebagai nilai-nilai dasar dari neoliberalisme ekonomi yang
menyelinap dalam globalisasi. Globalisasi dalam rangka penyebaran
neoliberalisme itu memperlihatkan 2 (dua) dimensi yakni, pertama dimensi
ekonomi dan korporasi (economic and corporation globalization). Kedua, dimensi
politik dan negara (political and state globalization).14 Kedua dimensi
tersebut nampak pada kebijakan yang diskenariokan dan didesain oleh
negara-negara maju yang tergabung dalam G8 (Amerika Serikat, Kanada, Itali,
Perancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan Jepang) melalui 3 (tiga) mesin
globalisasi yaitu, pertama lembaga keuangan internasional (International
Financial Institutions/IFI’s),15 kedua Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization/WTO), dan ketiga perusahaan multinasional (Multinational
Corporation/MNC).16 Melalui mesin-mesin globalisasi di atas, negara-negara
maju semakin memperkokoh hegemoni mereka untuk mengatur dan mengontrol
sumberdaya di dunia. Lewat tangan WTO mereka mengatur kebijakan perdagangan
dunia.17 Melalui lembaga keuangan multilateral,
mereka dapat menentukan negara mana yang dapat menikmati kucuran uang. Kemudian
dengan meminjam kekuatan IMF, mereka menekan negara-negara untuk melakukan
deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi.
Secara lebih spesifik, Elizabeth
Martinez dan Arnoldo Garcia menyebutkan ada 5 (lima) Nilai dasar dari
Neoliberalisme, yaitu:18
1. ATURAN
PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang
dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas perdagangan
internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan serikat
buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga. Sepenuhnya
kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.
2. MEMOTONG
PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL. Ini seperti terhadap sektor
pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring pengaman’ untuk
orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik,
seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran
pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat
pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
3. DEREGULASI.
Mengurangi peraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi keuntungan
pengusaha.
4. PRIVATISASI.
Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta. Termasuk
bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah, rumah
sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih
besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang
dan membuat publik membayar lebih banyak.
5. MENGHAPUS
KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU KOMUNITAS. Menggantinya dengan
“tanggungjawab individual”, yaitu menekankan rakyat miskin untuk mencari
sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan, pendidikan,
jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
Program deregulasi, privatisasi
dan liberalisasi yang dimotori oleh mesin-mesin neoliberal yang dipraktikkan
dimana-mana adalah SAP (Structural Adjustment Program). SAP atau Program
Penyesuaian Struktural merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF,
termasuk juga WTO dengan nama lain. WTO memakai istilah-istilah seperti fast-track,
progressive liberalization, harmonization dan lain-lain. Intinya tetap
sama. Di balik nama sopan "penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan pendobrakan
radikal" terhadap struktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan
mekanisme pasar bebas. Jadi Pasar Bebas adalah intinya (mesin penggeraknya),
Neo-Liberal adalah ideologinya, dan SAP adalah praktek atau implementasinya.
Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme global.
III. PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI DITENGAH META-KONSTITUSIONALITAS
a. Kisah Sumbang Pengujian Undang-undang
Penetrasi neoliberalisme tidak
berhenti pada tataran substansi hukum dalam perubahan UU di bidang sumberdaya
alam. Tetapi juga memasuki dimensi struktur hukum dengan melakukan perombakan
birokrasi (eksekutif) dalam kerangka good governance, penguatan fungsi
legislasi DPR serta pembangunan institusi yudisial baru seperti Pengadilan
Niaga dan Mahkamah Konstitusi. Di Indonesia, perubahan pada level struktur
hukum ini dilakukan di bawah payung Rule of Law yang direjuvensi dari
konsep Negara Berdasarkan Hukum yang sudah dilontarkan para pendiri republik
pada tahun 1945. Keterkaitan antara penetrasi neoliberalisme, terutama
privatisasi, dengan konsep Rule of Law juga dikemukakan oleh Joseph E.
Stiglitz dalam penelitiannya pada negara-negara eks komunis.19
Mahkamah Konstitusi yang dibentuk
untuk mewujudkan supremasi yudisial melalui kekuasaan review undang-undang
menjadi institusi yang paling efektif untuk memfasilitasi proses integrasi pada
ekonomi global melalui serangkaian putusan kontroversialnya.20 Sejak tahun 2003, sudah ada lima UU di bidang
sumberdaya alam yang diuji kepada Mahkamah Konstitusi (UU Ketenagalistrikan, UU
Migas, UU Kehutanan, UU Sumberdaya Air, dan UU Penanaman Modal). Benang merah
dari dalil permohonan pengujian kelima UU tersebut berkaitan dengan penetrasi
neoliberalisme dalam bentuk deregulasi, privatisasi, liberalisasi dan
komersialisasi sumberdaya alam. Hal tersebut dianggap akan mengurangi
tanggungjawab negara dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi
manusia dan konstitusional warga negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap kelima permohonan pengujian UU tersebut, dilihat dari amar putusannya,
berbeda-beda. Ada permohonan yang
dikabulkan keseluruhan, dikabulkan sebagian, ditolak, ditolak dengan conditionally
constitutional dan tidak diterima. Meskipun amar putusannya berbeda-beda,
hal itu tidak menghalangi penetrasi neoliberalisme di Indonesia. Kondisi itu
membuat penting untuk mengevaluasi apakah pembaruan hukum dalam paham The Rule
of Law yang diinstrumentalisasi lewat lembaga pengujian UU terhadap UUD
1945 oleh Mahkamah Konstitusi memberikan kontribusi bagi penegasan penguasaan
negara atas sumberdaya alam atau sebaliknya?21
b. Doktrin Panca Fungsi Penguasaan Negara
Lewat putusan pengujian UU
Ketenagalistrikan (UU No. 20/2002), Mahkamah Konstitusi menghidupkan kembali
diskursus tentang konsep penguasaan negara atas sumberdaya alam yang terakhir
diperbincangkan secara serius dalam pembahasan UUPA 48 tahun silam (tahun
1960).22 Dalam menafsirkan makna frase
“dikuasai oleh negara” dari Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah
Konstitusi mengkonstruksi 5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang
produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Tabel Panca Fungsi Negara Dalam
Menguasai Sumberdaya Alam
No
|
Fungsi
|
Penjelasan
|
1
|
Pengaturan (regelendaad)
|
Fungsi pengaturan oleh negara dilakukan melalui kewenangan
legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif).
Jenis peraturan yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 UU No
10/2004, serta Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah
(eksekutif) yang bersifat mengatur (regelendaad)
|
2
|
Pengelolaan (beheersdaad)
|
Dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding)
dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik
Negara. Dengan kata lain negara c.q. Pemerintah (BUMN) mendayagunakan
penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan untuk digunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah, fungsi ini dilakukan oleh perusahaan daerah
|
3
|
Kebijakan (beleid)
|
Dilakukan oleh pemerintah dengan merumuskan dan mengadakan
kebijakan
|
4
|
Pengurusan (bestuursdaad)
|
Dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk
mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie),
dan konsesi (concessie).
|
5
|
Pengawasan (toezichthoudensdaad)
|
Dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka
mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas
cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak
dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh
rakyat. Termasuk dalam fungsi ini yaitu kewenangan pemerintah pusat melakukan
pengujian Perda (executive review)
|
Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa penguasaan negara atas sumberdaya alam lahir dari
konsep hubungan publik. Dikatakan sebagai konsep hubungan publik karena:
“Konsepsi penguasaan oleh
negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan
rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik)
maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu,
rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan
tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat
secara kolektif.”23
Meskipun menyatakannya sebagai
konsep hubungan publik, Mahkamah Konstitusi tidak menolak bahwa hubungan negara
dengan sumberdaya alam juga merupakan manifestasi dari hubungan keperdataan.
Pengakuan itu secara implisit ditemukan dalam penggalan putusan berikut:24
v Menimbang
bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka
pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung
pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam
konsepsi hukum perdata.;
v Menimbang
bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai
pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan
mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan
“sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;
v Namun
demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai
salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga
pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan dimaksud;
v Oleh
karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik
dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan
pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh
negara, kedua-duanya ditolak oleh Mahkamah;
Hubungan kepemilikan negara atas
sumberdaya alam dalam literatur Property Rights Regime disebut sebagai state
property.25 Dalam state property,
kepemilikan negara merupakan kondisi konstitutif keberadaan suatu negara, yaitu
untuk menggeneralisasi bermacam-macam hak yang ada di dalamnya. Dari
generalisasi itulah lahir fungsi mengatur, mendistribusikan, mengendalikan dan
mengawasi. Machperson menyebutkan bahwa kepemilikan oleh negara memiliki
kemiripan dengan hak milik pribadi, sebab negara merupakan pribadi buatan.
Dengan demikian, milik negara
(state property – penulis) harus digolongkan sebagai milik kelembagaan,
yang merupakan milik ekslusif dan bukanlah sebagai milik umum, yang merupakan
milik non-ekslusif. Milik negara adalah hak ekslusif dari suatu pribadi
buatan.26
Konsekuensi dari sifat ekslusif
dari konsep keperdataan penguasaan negara atas sumberdaya alam melegalisasi
kewenangan negara melalui pemerintah untuk melakukan hubungan keperdataan.27 Hubungan keperdataan itu tidak berarti bahwa
Pemerintah dapat menjual sumberdaya alam kepada pihak swasta, melainkan
melakukan hubungan kontrak atau perjanjian dengan pihak swasta berkaitan dengan
“pengalihan” hak atas sumberdaya alam. Dalam hubungan keperdataan yang bersifat
konsensual dari perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih, berlakulah
asas mengikat dalam hukum perjanjian
yang menyatakan bahwa perjanjian merupakan hukum bagi para pembuatnya atau pacta
sunt servanda.
Dalam perkembangannya, di luar
doktrin panca fungsi penguasaan negara menurut Mahkamah Konstitusi, tindakan
keperdataan Pemerintah dan Pemerintah Daerah berlangsung dan berkembang,
terutama dalam bidang investasi. Ada 5 bentuk kerjasama investasi antara pemerintah
dengan swasta, yaitu:28
a) Kejasama
Konsesi (consession contract)
b)
Kerjasama Kontrak Bangun
(Build/Rehabilitation Contract)
-
Bangun, Kelola, Alih Milik (Build, Operate,
Transfer)
-
Bangun dan Alih Milik (Build and Transfer)
atau Turn-Key Project
-
Bangun, Milik dan Kelola (Build, Own,
Operate)
-
Bangun, Alih Milik dan Kelola (Build,
Transfer and Operate)
-
Bangun, Sewa, Alih Milik (Build, Lease,
Transfer)
-
Tambahan, Kelola dan Alih Milik (Add, Operate
Transfer)
c) Kerjasama
Operasi (Operating Contract)
d) Kerjasama
Pengelolaan (Management Contract)
e)
Kerjasama
Patungan (Joint Venture
Contract)
c. Memaknai Pemikiran Bung Hatta: Dimana Letak Modal (Asing)?
Secara
historis, pembahasan mengenai Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari
pemikiran Mohammad Hatta tentang ekonomi kerakyatan, yaitu perekonomian yang disusun atas asas
kekeluargaan (Pasal 33 ayat 1 UUD 1945). Pandangan ekonomi kerakyatan Hatta
diinstitusionalisasi dengan menjadikan koperasi yang berciri kolektivisme
sebagai tulang punggung pengembangan ekonomi nasional.
Menurut Hatta,
supaya pengurusan ekonomi oleh rakyat itu terwujud, maka negara menjadi
organisasi yang menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya (Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Negara menjamin agar
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tercapai lewat penguasaan tersebut, yaitu
melalui pengawasan dan pengaturannya.
Sedangkan
terhadap peranan modal, Hatta mengkonstruksi keterlibatan modal sebagai
alternatif atau pelengkap dari usaha-usaha sektor produksi atau sumberdaya alam
yang besar setelah dimaksimalisasi pengusahaannya oleh dalam negeri (koperasi
dan badan usaha negara). Hatta menyebutkan:
“Cara begitulah dahulu kita
memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD
1945. Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan
koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk menyerahkan
pekerjaan dan kapital nasional. Apabila tenaga nasional dan kapital nasional
tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan
produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka
diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di tanah air kita dengan
syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat
yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita
dan kesuburan tanah air kita, tetap terpelihara.” 29
Kutipan tadi menunjukkan pemikiran
Hatta di tahun 1946 bahwa perekonomian Indonesia di masa datang diusahakan
dengan jenjang prioritas berikut:30 Pertama,
mendayagunakan rakyat sebagai pelaku pembangunan ekonomi dengan jalan
koperasi; kedua, yaitu golongan swasta dan modal nasional; ketiga, bila
tenaga dan modal nasional tidak mencukupi, maka kegiatan produksi dilakukan
dengan meminjam tenaga dan modal asing;31 keempat,
bila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi
kesempatan kepada mereka untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat
oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga.
Bila pemikiran
Hatta pada tahun 1946 dimaknai pada hari ini sebagai tafsir historis atas Pasal
33 UUD 1945, tentu penggolongan yang bersifat prioritas oleh Hatta memiliki
nilai otoritatif dalam pembentukan undang-undang dan dinamika sosial ekonomi.
Konsep jenjang
prioritas aktor yang disampaikan oleh Hatta dimaknai berbeda oleh Pemerintah
dan DPR dalam keterangan yang disampaikan di dalam persidangan pengujian
undang-undang serta di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi.
Bagi pemerintah, DPR dan Mahkamah Konstitusi, pendapat Hatta di atas merupakan
titik tolak untuk melegalisasi bahwa liberalisasi serta peranan swasta dalam
pengusahaan sumberdaya alam bukanlah hal yang “diharamkan”. Fungsionalisasi
dari peranan swasta itu dilakukan secara kompetitif berdasarkan asas demokrasi
ekonomi untuk berasing dengan koperasi dan badan usaha milik negara. Demokrasi
ekonomi lebih diartikan sebagai persaingan daripada partisipasi secara
struktural dari kelembagaan ekonomi masyarakat.
Dalam putusan pengujian UU
Penanaman Modal, Mahkamah Konstitusi menjabarkan prinsip-prinsip dasar
demokrasi ekonomi 32 yang diturunkan dari Pasal
33 ayat (4) UUD 1945 sebagai berikut:
1. Asas
efisiensi berkeadilan adalah asas yang mengedepankan efisiensi berkeadilan
dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya
saing;
2. Asas
berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya
proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan
kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik masa kini maupun masa yang akan
datang
3. Asas
berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang memperhatikan dan
mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup;
4. Asas
kemandirian adalah asas yang mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan
tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan
ekonomi;
5. Asas
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang
berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam kesatuan nasional.
Dengan demikian, baik koperasi
maupun BUMN dalam beberapa usaha pemanfaatan sumberdaya alam akan bersaing
dengan pengusaha raksasa internasional seperti Trans National Corporation
(TNC). Contoh nyata hal ini dapat dilihat dalam penentuan operator pemanfaatan
minyak di Blok Cepu. Lewat serangkaian negosiasi akhirnya Pemerintah
menyerahkan operator Blok Cepu kepada Exxon Mobil sebagai General Manager,
sedangkan Pertamina memegang komite operasi bersama.33 Hal ini terjadi karena
Pertamina dianggap tidak mampu, tidak efisien dalam dan berselubung dengan
korupsi.
d. Konstitusionalitas Privatisasi
Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dalam fungsi negara cq Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengelola (beheersdaad)
sumberdaya alam diperbolehkan share-holding atau berbagi saham antara
saham dari pemerintah dengan saham dari modal swasta. Dalam putusan pengujian
UU Ketenagalistrikan, Mahkamah Konstitusi menjadikan privatisasi bersifat
konstitusional dengan menyatakan:
“maka
penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif
dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q.
Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara
sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas
relatif,34 asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas
penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun
privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara
yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD
1945.”
Pertimbangan demikian, disamping
melegalisasi divestasi atau privatisasi, juga meyakini bahwa kepemilikan saham
mayoritas relatif dari negara dapat mengontrol kebijakan BUMN. Penafsiran
sebagaimana dikutip di atas dalam kategori penafsiran hukum merupakan
penafsiran fungsional (functional interpretation) yang menilai
konstitusionalitas suatu norma berdasarkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi dalam penerapannya.35
Privatisasi itu
lahir dengan memperhatikan Pasal 33 ayat (4) yang menuntut adanya efisiensi
berkeadilan, yaitu untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan
berdaya saing. Selama ini BUMN memonopoli pengelolaan suatu cabang produksi penting
seperti minyak. Untuk menggusur monopoli itu maka BUMN “diperlemah” tidak hanya
dengan membuat mekanisme persaingan antara BUMN dengan swasta, tetapi juga
menciptakan peluang agar saham BUMN dimiliki oleh pihak bukan negara.
Selama ini alasan Pemerintah untuk
memprivatisasi BUMN adalah karena BUMN dianggap tidak efisien dan berselubung
dengan korupsi. Namun dasar privatisasi BUMN yang demikian merupakan sesat
pikir yang amat serius. Pertama karena privatisasi didasarkan kepada
ketidakpercayaan Pemerintah terhadap institusi milik Pemerintah sendiri. Suatu
pengakuan ketidakmampuan ini merupakan cerminan mental bangsa terjajah. Untuk
perbandingan, sebagaimana diceritakan dalam buku Di Negeri Penjajah:
Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, yang ditulis Harry A. Poeze.36
Tidak semua orang Indonesia di Negeri Belanda pada permulaan abad 20 sepakat
dengan ide kemerdekaan dan kemandirian bangsa Indonesia yang disuarakan oleh
Tjipto Mangoenkoeosomo dan Mohammad Hatta. Noto Soeroto (seorang Jawa) adalah cerminan
orang yang lebih Belanda daripada orang Belanda. Noto Soeroto mengatakan bahwa
untuk “Hindia (Indonesia) belum matang satu abad untuk merdeka.” Bagi Noto
Soeroto yang diperlukan adalah suatu asosiasi kolonialisme antara Belanda
dengan Hindia. Indonesia tidak bisa jadi bangsa mandiri tanpa bayang-bayang
kekuasaan Ratu Belanda. Kedua, privatisasi BUMN tidak akan otomatis
menghilangkan perilaku koruptif di dalam BUMN dan membuatnya mampu melayani
masyarakat dengan baik. Privatisasi PAM Jaya misalnya tidak membawa pelayanan
hak masyarakat atas air di Jakarta menjadi lebih baik. Disamping itu,
privatisasi tidak akan menghilangkan kewajiban Pemerintah untuk memberantas
korupsi pada lembaga-lembaga negara.
Penelitian yang dilakukan oleh
Winarno Yudho dkk (2005) tentang Privatisasi Ketenagalistrikan dan Migas yang
diterbitkan oleh Mahkamah Konstitusi37 memberikan beberapa catatan penting
terhadap kebijakan privatisasi yang sedang berlangsung. Beberapa kesimpulan
dari penelitian itu antara lain:
1. Pengajuan
pengujian UU Ketenagalistrikan dan UU Migas oleh masyarakat merupakan wujud
penolakan terhadap privatisasi sektor Ketenagalistrikan dan Migas
2. Privatisasi
syarat dengan kepentingan aktor-aktor globalisasi ekonomi seperti TNC’s, IFI’s
dan Lembaga Dagang Internasional daripada suatu upaya mewujudkan kemandirian
ekonomi bangsa
3. Resep
privatisasi yang diberikan, baik di Indonesia maupun negara lain, khususnya di
negara dunia ketiga oleh IMF sama sekali tidak memberikan catatan positif bagi
perbaikan kinerja BUMN. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kausalitas antara
privatisasi dengan membaiknya kinerja BUMN.
4. Pengalaman
di beberapa negara yang melakukan privatisasi malah menimbulkan dampak kenaikan
harga, pemutusan hubungan kerja dan sama sekali tidak menjamin prinsip
manajemen yang baik.
e. Amandemen Konstitusi dan Pluralisasi Nilai
Hal yang tidak kalah penting untuk
dikemukakan adalah soal pluralisasi nilai-nilai konstitusi lewat amandemen UUD
1945. Pluralisasi nilai-nilai itu terjadi dengan ditambahkannya ayat (4) di
dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Penambahan nilai-nilai tersebut
tidak menjadi unsur pelengkap atau komplementer dari nilai-nilai penguasaan
negara atas sumberdaya alam yang sebelumnya dicantumkan dalam Pasal 33 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. 7 (tujuh) prinsip dasar demokrasi ekonomi
dalam rangka perekonomian nasional dalam Pasal 33 ayat (4) tidak meneguhkan
penguatan ekonomi kolektif melalui koperasi, melainkan nilai-nilai baru yang
dapat ditafsir secara lebih luas.38
Konsekuensi
dari pluralisasi nilai-nilai penguasaan negara atas sumberdaya alam dari Pasal
33 ayat (4) UUD 1945 menjadikan sifat konstitusionalitas penguasaan negara atas
sumberdaya alam tidak bersifat tunggal dan determinatif. Sehingga,
konstitusionalitas tidak lagi diukur berdasarkan kebenaran, melainkan dari
relasi kuasa berbagai aspek yang bertarung. Misalkan antara neoliberalisme
dengan nasionalisme, historis dengan kontekstual, fondasionalisme dengan
pragmatisme, ketertiban dengan kemanfaatan dan lain sebagainya.
Berdasarkan pilihan konstitusional
maka putusan lembaga yudisial dapat dinilai dengan menggunakan pendekatan teori
pilihan rasional yang berkembang dalam wacana ekonomi politik.39 Meminjam
pendekatan teori pilihan rasional, maka putusan Mahkamah Konstitusi terdiri dan
dipengaruhi oleh empat elemen, yaitu:
1. Preferensi
(preference) yang dilakukan dengan perangkingan atau menentukan
prioritas berdasarkan berbagai pilihan konstitusionalitas yang mungkin. Dalam
hal ini pluralisasi nilai yang sudah dilakukan dengan menambahkan Pasal 33 ayat
(4) UUD 1945 merupakan pra kondisi yang menentukan keleluasaan putusan.
2. Kepercayaan
(belief) yaitu untuk tidak bertindak semata-mata didasarkan kepada
emosi dan kebiasaan, tetapi juga atas dasar kepercayaan akan struktur sebab
akibat dunia nyata. Disinilah letak keyakinan hakim, baik berdasarkan
bukti-bukti di persidangan, konteks sosial yang membentuk kesadaran hakim,
serta kondisi eksternal yang sedang berlangsung memberikan pengaruh, seperti
neoliberalisme.
3. Kesempatan
(Opportunity) yang terkait dengan sumberdaya dan kendala. Baik atas
luasnya kewenangan dan alat-alat yang dapat menjadikan tindakan memiliki
legitimasi. Hal ini terkait dengan kewenangan dan relasi institusi pengadilan
dengan lembaga negara serta lembaga sosial lainnya.
4. Tindakan
(action) yaitu keputusan (amar) yang dipilih oleh hakim menjadi
putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah
Konstitusi dalam pengujian UU di bidang sumberdaya alam terhadap Pasal 33 UUD
1945 tidak cukup dianalisa dengan menggunakan cara tradisional metodologi
penafsiran hukum.40 Putusan tersebut tidak lagi murni berada pada domain hukum
(yang murni), tetapi juga sebagai keputusan politik yang memoderasi dan
memberikan legitimasi kepada masuknya nilai-nilai neoliberalisme ekonomi.
Dalam dualisme hermeneutika
konstitusi Lief H. Carter, maka putusan yang demikian mencerminkan pilihan oleh
kaum pragmatis dari pada oleh kaum fondasionalis. Kaum pragmatis menekankan
pentingnya keterkaitan antara aturan dan pilihan-pilihan. Bagi kaum pragmatis,
masyarakat terbentuk melalui pencapaian dan pemeliharaan kualitas-kualitas
komunikasi yang efektif diantara para anggota masyarakat. Sehingga,
prinsip-prinsip hukum formal, filsafat doktrinal, dan bentuk analisis akademik
tidak selaras dengan karakter dunia pragmatis yang penuh dengan narasi dan
perbincangan.41
IV. MENGEMBALIKAN “YANG PUBLIK”
Jika Negara
adalah organ publik yang melampaui konsepsi badan hukum privat, mengapa Negara
cq Pemerintah dapat menjadi pihak dalam sengketa dengan pihak swasta (asing)
berkaitan dengan sumberdaya alam yang dikuasainya (Pasal 32 UU No. 25/2007)?
Hal ini tidak lain karena Pemerintah dapat melakukan perjanjian atau kontrak
dengan pihak swasta dalam ekonomi sumberdaya alam. Keadaan ini menurunkan
derajat negara sebagai representasi “Yang Publik.” Degradasi ini terjadi secara
sistematis lewat deregulasi yang dilakukan dengan mengadopsi hubungan
perjanjian atau kontrak antara Pemerintah dengan Swasta dalam “pengalihan”
suatu hak atas sumberdaya alam (UU Migas).
Dalam literatur ditemukan
setidaknya tiga paham tentang hubungan penguasaan negara atas sumberdaya
alam.42 Pertama, Paham Negara Liberal Klasik. Akar pemikiran paham ini
ditelusuri dari pemikiran Adam Smith dan John Locke. Paham ini menempatkan
negara dalam posisi yang minimum untuk melancarkan liasseiz faire.
Negara Penjaga Malam (nightwatchman state) hanya sebagai badan publik
yang memastikan terpenuhinya hak dasar individu warga negara, yaitu hak
kebebasan, hak hidup dan hak milik. Untuk memberikan kepastian hak milik bagi
individu dan badan hukum privat, Negara memfasilitasi modal melalui
kewenangannya memberikan izin dan perjanjian. Hubungan hukum yang utama dalam
konsepsi ini adalah kebebasan bersaing (liberalisasi) dan kebebasan berkontrak
(konsensual).
Kedua, Paham Negara Kelas. Sejalan
dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap bahwa ketidakadilan dan kesenjangan
sosial ekonomi antara borjuis dan proletar terjadi karena diadopsinya konsep
kepemilikan individu, maka Negara hadir sebagai suatu representasi kelas sosial
yang merombak tatanan kepemilikan individu untuk dijadikan sebagai kepemilikan
kolektif di pundak Negara. Paham ini berpandangan bahwa hanya Negara yang
memiliki hak milik atas sumberdaya alam untuk memberikan keuntungan bersama, tidak
bagi kepentingan individu.
Ketiga, Paham Negara Kesejahteraan
(Welfare State). Paham ini mencoba menggabungkan antara Paham Negara
Liberal Klasik dengan tujuan-tujuan yang ada dalam Paham Negara Kelas. Suatu
upaya konseptual yang pragmatis. Paham ini tidak lagi semata-mata memposisikan
negara sebagai alat kekuasaan tetapi sebagai organ yang melakukan pelayanan (an
agency of service). Pelayanan oleh negara tidak terbatas pada bidang
politik saja sebagaimana dalam paham liberal klasik, tetapi memasuki dimensi
ekonomi untuk mendorong pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan jaminan sosial.
Namun Konsepsi Negara Kesejahteraan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks
perkembangan kapitalisme. Desakan kapitalisme baik TNC dan MNC didukung oleh
agen-agen internasional seperti IMF, World Bank dan WTO menggeser tujuan Negara
Kesejahteraan yang sejatinya bertujuan untuk melayani pemenuhan hak-hak sipol
dan ekosob warga negara menjadi pelayan bagi ekspansi kapitalisme global:
Negara Karpet Merah.
Doktrin Panca Fungsi Negara yang
dibangun Mahkamah Konstitusi mencoba merekonstruksi “Yang Publik” dalam
penguasaan negara atas sumberdaya alam. Terkait dengan sengketa antara
Pemerintah dengan investor terkait pemberian izin HGU, HGB dan Hak Pakai, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
penyelesaian sengketanya berada dalam rumpun pengadilan administrasi negara,
bukan di pengadilan umum.43 Sebab pemberian HGU, HGB, dan Hak Pakai kepada
investor merupakan manifestasi hubungan administrasi, bukan kontraktual.
Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa pilihan penyelesaian sengketa antara
Pemerintah dengan investor bukanlah materi muatan dari UU. Seharusnya klausula
penyelesaian sengketa melalui arbitrase dicantumkan di dalam kontrak, kasus
demi kasus.
Model penyelesaian sengketa yang
diinternasionalisasi melalui arbitrase internasional (Pasal 32 UU PM) sudah
menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Hal ini berkaca pada pengalaman
kelahiran Perpu No. 1/2004 yang kemudian menjadi UU No. 19/2004 yang
melegalisasi keberadaan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung yang
sebelumnya dilarang dalam UU Kehutanan (UU No. 41/1999). Pada penghujung
pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, perusahaan tambang yang
beroperasi di kawasan hutan lindung seperti Freeport mengancam akan membawa
persoalan larangan pemerintah dalam UU Kehutanan ke Arbitrase Internasional
sebab bertentangan dengan kontrak karya pertambangan yang sudah disepakati
sebelumnya. Atas desakan itu Presiden mengeluarkan Perpu yang disepakati oleh
DPR menjadi UU dan di-amini oleh Mahkamah Konstitusi.
Hubungan keperdataan antara
Pemerintah dengan Investor menggeser urusan publik ke dalam ruang bisnis dan
berorientasi pada keuntungan ekonomi. Pada hal-hal tertentu pemerintahan yang
demikian dapat dikategorikan sebagai Corporatocracy. Corporatocracy
tidak saja dimaknai bahwa orang-orang di dalam pemerintahan didominasi oleh
orang berlatar belakang saudagar dengan motif ekonomi yang diraih dari
kekuasaan politik, tetapi juga di baca dari konsep hubungan hukum yang dibangun
dengan pihak investor. Watak Corporatocracy misalnya nampak dalam kasus
Blok Cepu. Pada mulanya Pemerintah menyatakan tidak akan campur tangan dan
menyerahkan kesepakatan kepada Pertamina dengan Exxon Mobil dengan pendekatan B
to B (business to business) Tetapi dalam prakteknya, soal pemanfaatan
Blok Cepu tidak lepas dari campur tangan dua Presiden, yaitu Presiden SBY
dengan Presiden Bush yang berbasis pada urusan bisnis: Business to Business,
tidak murni Government to Government lagi. Implementasi hubungan hukum
pemanfaatan Blok Cepu oleh Exxon Mobil dilakukan dengan MoU dan Kontrak
Kerjasama oleh Pemerintah melalui BP Migas yang berkedudukan sederajat. Bukan
administrasi perizinan yang satu arah.
Di luar putusan Mahkamah
Konstitusi juga sudah ada upaya untuk me-re-publik-asi hubungan keperdataan
Pemerintah dengan investor, hal ini dalam dilihat dalam RUU Pertambangan
Mineral dan Batubara (Versi tahun 2005) yang sedang dibahas di DPR untuk
menggantikan UU Pertambangan (UU No. 11/1967). Di sana rumusan kontrak diganti
menjadi hubungan perizinan yang beraspek publik.44 Meski ada dorongan merubah
kontrak menjadi izin, tetap harus diperhatikan bahwa penguasaan negara
mempunyai relasi dengan hak-hak individu masyarakat serta hak masyarakat adat
atas sumberdaya alam. Selama ini dalam prakteknya formalisasi hak oleh negara
malah menjauhkan masyarakat untuk memanfaatkan dan menikmati sumberdaya alam.
Bahkan mengusir masyarakat dari wilayah yang mereka tempati karena izin sudah
diberikan kepada pihak swasta.
Untuk itu, konsep penguasaan
negara atas sumberdaya alam harus dilihat sebagai bagian dari sistem hak atas
sumberdaya alam. Berbicara tentang “hak” dalam konstruksi politik, maka ia
bersifat relasional yang mengaitkan seluruh pengemban hak dalam suatu sistem
hak. Sistem hak tersebut dikatakan sebagai suatu sistem bila mengarah kepada
satu tujuan. Tujuan yang digariskan oleh UUD 1945 adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak hanya bermakna rakyat
sebagai objek yang akan menerima, sebab kemakmuran tidak saja soal hasil.
Sebesar-besar kemakmuran rakyat juga soal proses, sehingga rakyat adalah subjek
yang seharusnya terlibat secara partisipatif. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak
mengarah kepada penguatan peran masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya
alam.
0 komentar:
Posting Komentar